Menyajikan Informasi dan Inspirasi


  • News

    Saturday, February 6, 2016

    Logika Industri Sastra Islami

    Oleh Musyafak

     Sastra islami telah (direkayasa) mengikuti logika pasar. Akibatnya, kelatahan massal tidak bisa ditampik.Sastra Indonesia mengalami guncang-an luar biasa usai novel Ayat-ayat Cinta (AAC) karya Habiburrahman Al-Shirazy (2004) “merajai” pasar. Sejak itulah sastra islami ramai-ramai dibincang dalam horisaon sastra Indonesia.
    Kemudian secara sadar menempatkan AAC sebagai bagian dari karya sastra yang lahir dari koridor islam. Kegandrungan pembaca pada AAC telah menimbulkan kelatahan berkepanjang-an yang kemudian masuk dalam jejaring pasar.
    Meski AAC bukanlah jabang bayi karya sastra yang kini dielu-elukan sebagai sastra islami itu, tapi kehadirannya adalah dentuman besar yang menggairahkan fiksi berlatar islam. Jauh sebelum AAC menggetarkan jagad kesusasteraan Indonesia yang penjualannya mencapai 300 ribu eksemplar lebih—bahkan ditonton lebih dari 3 juta pasang mata ketika difilmkan oleh Hanung Brmantyo—Forum Lingkar Pena (FLP) berdiri pada tahun 1997 dengan mengusung tema bercorak islami.
    Kita tidak bisa mungkir, karya-karya sastra yang dielu-elukan “islami” itu membawa misi tersendiri bagi percaturan spiri-tualitas manusia modern. Bahwa tiadapun karsa dan karya lahir dari kehampaan suasana. Alias, karsa manusia selalu lahir dengan keterikatan sebab-musababnya. Dan, sastra islami itu mengklaim dirinya lahir sebagai upaya syiar keagamaan, dakwah islam. Kehadirannya mampu memberi pencerahan spiritualitas serta pemahaman tentang islam.
    Spiritual dan Logika Pasar
    Kekeringan spiritualitas manusia modern telah memberi ruang yang lapang bagi sastra islami. Kita tidak bisa menampik bahwa manusia terkini lebih memilih mempelajari agama dan menuruti perburuan spiritual lewat buku-buku ringan seperti novel. Daya magnet novel islami begitu kuat karena corak pembahasaan pesan-pesan agama disampaikan secara sederhana, ringan, dan elastis. Berbeda dengan buku-buku agama yang cenderung ilmiah, apalagi kitab-kitab klasik, yang kini hanya dipelajari oleh segelintir orang.
    Adapun ruang yang dimaksud adalah pasar. Bahwa pasar telah memberi tempat yang luas bagi tumbuhkembangnya karya sastra macam itu karena animo masyarakat sangat tinggi terhadapnya. Lantas jaring-jaring pasar menciptakan skema yang jelas untuk membuat logika industri terkait sastra islam yang telah masuk dalam tataran mass culture (budaya massa).
    Logika industri sangat mempengaruhi perkembangan sastra islami. Pasar telah menancapkan strategi, merekayasa bentuk, dan memapankan gaya, dan (bahkan) membuat kisi-kisi atas isi karya-karya sastra. Pada akhirnya pasar mendorong penyesuaian bentuk karya sastra islami agar diterima dan diapresiasi pembaca demi meningkatkan laba industri.
    Buktinya adalah berkembangnya sayap-sayap penerbitan buku-buku (sastra) islam. Misalnya Dar! Mizan yang melabeli terbitannya dengan Nori (Novel Remaja Islam), atau Gema Insani yang juga melabeli terbitannya dengan sebutan Fikri (Fiksi Remaja Islam). Penerbit yang sejak awal telah kukuh menerbitkan buku-buku umum pun pada akhirnya tertarik pada karya fiksi islami karena pangsa pasarnya luas.
    Hingga dalam waktu yang sekejap pasar buku islami sangat bergelora. Dan pasar itu cepat disesaki oleh banyak “aktor” yang memainkan fiksi islami sebagai bahan kepenulisan. Meski begitu, pasar tidak mudah mengalami kejenuhan karena animo masyarakat sangat besar terhadap trendsetter novel islami.
    Latah dan Monoton
    Tapi tak bisa dimungkiri, pasar dan kegandrungan pembaca yang luar bisa pada sastra islami telah melahirkan kelatah-an yang luar biasa pula. Banyak penulis muncul dengan membawakan tema seragam. Bahkan alur cerita pun banyak yang hampir mirip.
    “Cinta” hampir menjadi satu-satunya tema yang diangkat. Hal itu dapat dilihat dari judul-judulnya: Ayat-ayat Cinta (Republika), Ketika Cinta Bertasbih (Republika), Musafir Cinta (Diva Press). Bahkan penerbit berlomba untuk sebanyak-banyaknya memasarkan fiksi islami: Dalam Perjamuan Cinta (Republika), Dalam Sujud Cinta dan Takdir Cinta (Lingkar Pena), Perempuan Suci, Lafaz Cinta, Berselimut Surban Cinta, dan Mukjizat Cinta (Diva Press), Bismillah Ini Tentang Cinta, dan Bait-bait Cinta (Grafindo). Itu baru perwakilan saja, sebab ada ratusan buku berjudul cinta yang sampul depannya kebanyakan bergambar perempuan (berjilbab atau bercadar).
    Tema cinta yang dihadirkan pun terasa dangkal—atau pelan-pelan secara alami mengalami pendangkalan—karena cinta di dalamnya sebatas manifestasi perasaan manusia yang berlainan jenis. Cinta yang harus memilih di antara pesona kelelakian atau keperempuanan. Ini bertolakbelakang dengan cinta yang disampaikan penyair islam klasik seperti Jalaluddin Rumi, Rabi’ah Al-Adawiyah, ataupun Ibn Arabi yang mengisahkan bait-bait cinta berisi spiritualitas fundamental manusia dalam “mencumbu” Tuhan.
    Padahal, cinta yang tidak disadari tapi pelan-pelan menjadi gaib adalah cinta yang bersifat kemanusiaan universal: kepedulian, empati, kedamaian, dan cinta kasih sesama. Sayang, fiksi islami belum menyentuh tataran itu. Yang berusaha dikedepankan hanyalah bagaimana mencitrakan tokoh dengan nuansa islam yang paripurna. Hingga yang tampak tak lebih dari tujuan ingin mengatakan “Inilah orang islam” melalui tokoh-tokoh yang digambarkan.
    Jika mau jujur, sebenarnya, spiritualitas tak pernah hilang dari karya sastra manapun. Fiksi umum pun tak lepas dari pesan-pesan religiusitas. Begitu juga, novel-novel umum pun banyak berbicara soal islam. Maka fatal sekali jika novel yang secara pesifik tidak menampilkan keislaman verbal diklaim sebagai sastra nonislami. Hampir semua karya sastra mengusung moralisasi yang mengajarkan kemanusiaan.
    Di sisi lain, kelatahan membuat kelahiran fiksi islami kentara dengan kesan monoton. Baik cara penyampaian pesan maupun pengisahan. Pada dasarnya novel-novel islami yang ada sampai saat ini lebih bercorak menerjemahkan konflik seorang tokoh dengan interpretasi al-Qur’an atau al-Hadits. Setiap jengkal perjalanan hidup tokoh tak bisa lepas dari sandaran dalil-dalil naqli. Hingga di situ, pembaca akan lebih banyak menemui terjemahan atau penafisran al-Qur’an dan al-Hadits daripada narasi cerita yang dibangun.
    Kemudian ada semacam “kegagalan” cara menyampaikan pesan-pesan islam yang selalu saja hendak divisualisasikan secara verbal dalam novel-novel islami. Kegagalan itu adalah bentuk mengkomunikasikan nilai-nilai estetik sastra dalam bentuk dangkal yang tak ubahnya seperti ceramah. Kesan yang timbul adalah “menggurui”. Padahal, kesejatian pesan sebuah karya sastra adalah mengajak manusia untuk merenungi kembali segala nilai yang telah berlaku. Sedangkan “menggurui” jauh sekali dalam konteks kesadaran pembaca untuk berkontemplasi.
    Ambiguitas pun muncul jika kita mendebatkan soal nilai. Bahwa, seolah-olah baik dan buruk hanya dapat ditimbang dengan neraca yang bernama agama. Nurani fitriah yang melekat secara kodrati pada setiap orang tak terlalu dipakai. Daya kritis kemanusiaan terlalu dibekukan oleh doktrinasi cerita yang selalu “diislamkan”.
    Jejak Sastra Islam
    Benar apa yang ditulis Yasraf Amir Piliang dalam eseinya Sastra dan E(ste)tika Massa (2008), bahwa kalangan kritikus sastra sangat khawatir “industri budaya” yang lahir atas nama karya sastra berbasis pada logika industri. Karena karya sastra atau produk-produk kebudayaan lainnya tidak bisa diseragamkan sebagai barang industri.
    Lantas, apakah konsep sastra islami benar-benar pas disematkan untuk karya-karya macam di atas?
    Selama ini yang terjadi justru terma sastra islami mengikuti logika industri, bukan logika kebudayaan itu sendiri. Kelatahan fiksi islami adalah fakta yang tidak bisa ditampik yang nyata-nyata membuat banyak penulis hadir di dalam ruang itu hanya karena mengikuti arus pasar semata.
    Sebenarnya sastra bercorak islam sudah membumi sejak era kelahiran sastra melayu sebagai awal perkembangan kesu-sasteraan Indonesia. Dalam hal ini bisa dirujuk karya-karya Abdul Kadir Munsyi, Hamzah Fanshuri, atau Amir Hamzah.
    Era setelah itu, Kuntowijoyo memproklamasikan sastra profetik. Pada prinsipnya sastra profetik tidak lain adalah tafsir lain yang merujuk term sastra islam. Karena carapandang yang dipakai dalam pembahasaan pesan, sastra profetik menggunakan logika agama.
    Menurut Hamdy Salad dalam eseinya Narasi Sastra Religius (2008), ada tiga unsur yang tak terpisahkan dari etik profetik. Yaitu amar ma’ruf (humanisasi), nahyi munkar (li-berasi), dan iman billah (transendensi). Amar ma’ruf atau humanisasi memuat pesan untuk memanusiakan manusia sesuai peran budaya yang dijalankan. Nahyi munkar atau liberasi adalah pesan pembebasan manusia dari penindasan sistem budaya yang sedang berlangsung di masyarakat. Adapun iman billah meliputi perlawanan kreatif yang bersifat religius dan spiritual terhadap ideologi-ideologi budaya bersifat sekuler.
    Selain sastra profetik, sastra sufistik juga memperkaya definisi tentang satsra islam. Esensi sastra sufistik agak berbeda dengan sastra profetik. Tak sekadar memusatkan penalaran pada humanisasi, liberasi, dan transendensi. Melainkan meletakkan logika sastra pada unsur estetik yang bersifat transenden. Transendensi, dalam ukuran sastra sufistik adalah proses identifikasi ekspresi spiritual (ruhaniyah) manusia. Ada dua konteks transendensi yang terkandung dalam sastra sufistik: teologis (hablumminallah) dan kultural (hablumminnas).
    Dengan demikian, sastra islami yang berkembang saat ini perlu dikontekstualisasikan dengan term awal sastra islam yang telah lebih dulu menjadi induk semang. Maka sudah selayaknya penggerak sastra islami—industri dan penulis—termasuk pembaca lebih menimbang otentisitas karsa yang berlandaskan nilai-nilai islam, bukan sekadar tampilannya—yang akhirnya cenderung picisan. Karena bisa jadi sastra islami yang marak saat ini adalah sastra yang (hanya) menyerupai sastra islam, bukan sastra islam itu sendiri. (soeketteki.wordpress.com)
    –Musyafak,
    Warga Kampung Sastra Soeket Teki Semarang.

    No comments:

    Post a Comment